Minggu, 06 Juni 2010

Mavi Marmara

Blogger Garut Selatan Pagi itu, di sebuah ruas jalan pusat belanja legendaris di Berlin tak seperti biasanya. Kurfurstendamm nama jalan tersebut atau lebih populer dengan sebutan Kudamm penuh sesak dengan lautan manusia . Mereka tak menghiraukan udara pagi yang dingin menusuk tulang apalagi gerimis hujan saat itu enggan berhenti membasahi jalan, dedaunan, juga manusia-manusia di tempat tersebut yang berusaha menunjukkan kepedulian mereka pada sebuah negeri yang keadaannya memilukan hati siapa pun yang masih memiliki nurani.

Mereka berasal dari berbagai negara, berkumpul melakukan longmarch sepanjang jalan Kudamm, membawa serta berbagai spanduk di mana tertera di dalamnya segala yang mereka pikirkan dan meneriakkan segala isi hati sebagai upaya membuka mata dunia akan keadaan sebuah negeri yang penduduknya berada dalam penjara terbesar di dunia.

Freiheit für Palästina (Kemerdekaan untuk Palestina)

Stoppt die “Berliner Mauer” in Palästina! (Hentikan “Tembok Berlin” di Palestina)

Stoppt die Israelische Blockade! (Hentikan Blokade Israel)

Stoppt Den Volkermord In Palästina! (Hentikan Pembersihan Etnis di Palestina)

Das Rückkehrrecht der Palästinensen in Ihre Heimat ist unantastbar! (Hak Kembali ke Tanah Air bagi Orang Palestina Tak Dapat Diganggu gugat)

Gaza ist total abgeriegelt (Gaza benar-benar Terpenjara)

Gaza-isoliert von Freiheit + Gerechtikeit (Gaza Terisolasi dari Kebebasan dan Keadilan)

1,5 Milionen Menschen leben in einem grossen Gefängnis (1,5 Juta Orang Hidup dalam Penjara Besar)

Es mangelt an Lebensmittel und Medikamenten (Bahan Makanan dan Obat-obatan Sangat Langka)

Israel ist ein Apartheid-Staat (Israel adalah Negara Apartheid)

Israel's Holocaust in Palästina (Holokaus Israel di Palestina)

Baris demi baris kalimat di atas adalah bunyi dari berbagai spanduk yang mengiringi langkah mereka menyusuri Kudamm. Tak hanya para pria yang melakukan aksi tersebut, para wanita termasuk diantaranya para ibu yang membawa serta bayi mereka dalam kereta bayi juga anak-anak turut serta mengekspresikan rasa peduli dan cinta mereka pada Palestina. Selain kaum muslimin dari berbagai negeri yang melakukan aksi peduli tersebut, terlihat pula para aktivis kemanusiaan setempat bergabung dalam longmarch tersebut. Mereka membawa spanduk bertuliskan “UN + EU look at GAZA! Shame on You!” (PBB + Uni Eropa lihatlah Gaza! Kalian sungguh memalukan!)

Bendera Palestina berikut kaefiyyah (kain seperti sorban bermotif kotak-kotak hitam putih yang menjadi ikon pejuang Palestina) pun tak luput mendominasi jalanan saat itu di sebuah pagi di bulan Maret 2008. Pemandangan yang sama kembali terulang di tahun 2009, saat Israel kembali melakukan agresinya.

Dukungan moril seperti di atas tak pernah terlintas sebelumnya dalam pikiran saya dapat terjadi di bumi Berlin. Apalagi dalam bentuk yang lebih dari sekedar longmarch, seperti yang terjadi penghujung Maret lalu saat para aktivis kemanusiaan menyatakan kepeduliannya melalui Mavi Marmara yang mengangkut ratusan relawan beserta berbagai keperluan hidup untuk rakyat Palestina. Kembali mata dunia internasional terbelalak dan geram dengan prahara yang terjadi dalam kapal tersebut. Lagi-lagi Israel mempertontonkan arogansinya dan lagi-lagi mereka menyatakan sebuah alasan klise atas nama pembelaan diri.

Sebuah prahara yang tentu saja terjadi atas kehendak Allah. Adalah suatu hal yang mudah bagi Allah untuk menyampaikan misi kemanusiaan itu selamat hingga tujuan. Bukan juga suatu hal yang sulit bagi Allah untuk mengenyahkan kebiadaban Israel di bumi Palestina. Tentunya Allah memiliki rencana yang kita tidak akan pernah tahu akan tetapi kita dapat merasakan hikmahnya dari setiap peristiwa yang terjadi.

“Bun...Bunda kenapa sedih?” suara bening putri kecil saya membuat saya terperanjat. Karena terlalu fokus pada acara sebuah stasiun televisi yang sedang menayangkan tentang berbagai kejahatan Israel, saya tak menyadari kehadiran putri kecil saya. Ia menghampiri dan memeluk saya seraya menghapus bulir-bulir air yang mengalir di pipi.

“Bunda...kenapa sedih?” ia menelusuri mata saya sambil mengulangi pertanyaannya. Pandangannya bergantian tertuju pada saya dan layar TV. Segera saya peluk erat tubuh mungilnya, tak mampu menjawab. Di pelupuk mata saya hanya terbayang kilasan tayangan stasiun TV tadi tentang bocah-bocah Palestin yang mengalami trauma hingga terenggut masa-masa indah mereka. Di atas sehelai kertas, mereka bukan menggambar bunga dan kupu-kupu berwarna-warni atau langit biru dan matahari yang tersenyum khas gambar anak -anak yang hidup dalam situasi normal, melainkan menggambar kebiadaban Israel dengan senapan terkokang yang telah menjadikannya yatim-piatu, menjadikannya kehilangan sanak-saudara, juga kehilangan teman sepermainan.

Tak berapa lama putri kecil saya melepaskan pelukannya. Ia berlari ke kamarnya, namun segera ia kembali sambil mengenakan mukena.

“Bunda sedih melihat orang-orang Palestina itu ya?”... ucapnya sambil bergelayut di pangkuan saya. “Kalau gitu, kita shalat dulu yuk, aku barusan dengar adzan, ayo kita doakan mereka, Bunda?!” ajak putri kecil saya...

Subhanallah! Saya tak mampu berucap lagi, keharuan terlalu sangat merajai hati. Allah telah memperingatkan diri saya melalui ajakannya. Saya pun segera berwudhu dan mengikuti putri kecil saya itu yang telah duduk menanti di hamparan sajadah kecilnya. Ya, doa...doa dan doa harus selalu kita pancangkan untuk Palestina.
Oleh Ineu

Sabtu, 05 Juni 2010

Menikmati Indah Pantai Santolo Garut

Blogger Garut Selatan-Siapa bilang Garut tidak memiiki objek wisata seindah Pulau Dewata? Bagi mereka yang pernah mengunjungi Pantai Santolo, Pemeungpeuk Garsel, bisa jadi akan mengatakan Pantai Santolo lebih indah dari Pantai Kuta Bali.

Kesan itu muncul ketika orang mendongakkan kepala dari balik pohon-pohon bakau yang tumbuh di pinggir pantai menutupi pemandangan indahnya Pantai Sentolo. Dari jalan raya, orang tidak dapat menyaksikan pantai, karena tertutup oleh hutan bakau. Tetapi setelah menerobos masuk melewati hutan bakau yang tumbuh di sepanjang pantai itu, barulah orang melihat betapa Santolo, memang lebih indah dari Kuta Bali.

Pasirnya putih. Sepertinya lebih putih dari pasir di Pantai Sanur atau di Kuta. Tak ada bebatuan besar sepanjang pantai. Yang ada hanya bentangan pasir putih sejauh mata memandang. Ada beberapa onggokan sampah, karena pantai itu memang belum diurus dengan baik oleh pemerintah setempat.

Air lautnya jernih. Ombaknya menggulung membubung tinggi, bertubi-tubi menghantam bibir pantai. Bunyi deburannya memecahkan keheningan sekaligus menghilangkan penat, dan stres.

Banyak orang menyebut suasana Pantai Santolo ini mirip seperti suasana Pantai Kuta di era 1970-an yang masih bersih dan sepi.

Kuta di era 1970-an, khususnya di lokasi yang jauh dari jalan utama Legian, tidak ada aktivitas dan keramaian yang berlebihan. Di sana hanya ada beberapa penduduk setempat yang sibuk dengan upacara adat dan keagamaan. Selebihnya, beberapa turis asing yang mandi matahari dalam diam. Tetapi itu dulu, lebih dari 30 tahun silam.

Pantai Santolo juga seperti itu. Seperti Pantai Kuta di era 1970-an. Sepi dan tenang. Hanya tampak sejumlah anak-anak sekolah yang mencoba bermain dengan ombak, dan menikmatinya dalam ketelanjangan mereka.

Neti (20), gadis desa Santolo yang ditemui pertengahan Maret lalu di pantai tersebut mengatakan, di hari-hari biasa pantainya sepi. Kalau hari Sabtu dan minggu atau hari libur, baru pengunjungnya cukup banyak. SP mengunjungi Pantai Santolo, bertepatan dengan acara Gebyar Sehat, Bugar Masyarakat yang diadakan oleh masyarakat setempat yang menghadirkan Mennegpora Adhyaksa Dault dalam rangka menggairahkan masyarakat untuk berolahraga sekaligus juga menggairahkan iklim pariwisata di daerah Pemeungpeuk.

Neti, karyawati salah satu perusahaan konveksi di Bandung itu menambahkan, "Jangan lihat pantainya yang kosong. Coba perhatikan di bawah rimbunan pohon bakau."

Ternyata Neti benar. Dibalik terik matahari siang itu, di bawah pohon bakau yang rindang sepanjang pantai, beberapa pasangan pria dan wanita sedang berdua-duaan. Kebanyakan dari mereka datang dengan mengendarai sepeda motor. Ada juga yang jalan kaki karena dekat. Ada juga yang mengendari roda empat ke pantai tersebut.

Neti datang bersama ibu, dan juga bersama pacarnya. Ibunya berada di rimbunan bakau yang lain. Tampaknya ibunya sengaja membiarkan Neti leluasa bersama pacarnya. Ibunya duduk sendirian sambil mengawasi anaknya yang lain yang sedang bermain di gulungan ombak.

Blogger Garut
Selatan Sewa Perahu

Menurut Neti, orang tidak hanya menikmati keindahan pantainya saja. Bila ingin menikmati ombaknya, serta panorama di tengah laut, para pengunjung bisa menyewa perahu. Di sana banyak nelayan tradisional pencari ikan di Samudera Hindia.

Kadang-kadang mereka melaut sampai di dekat Pulau Krismas Australia. Tidak jarang mereka ditangkap. Di laut lepas itu memang cukup indah. Tetapi bagi pengunjung yang ingin menikmati panoramanya, bisa menyewa perahu tradisional dan bepergian untuk beberapa jam dari pantai.

Untuk mengunjungi pantai tersebut, orang harus menempuh perjalanan cukup lama. Dari Garut menuju Pemeungpeuk akan ditempuh sekitar lima jam. Jalannya berliku melewati kebun teh. Pemandangan di areal pegunungan hingga menuju ke selatan di pinggir pantai cukup indah. Orang tidak hanya menikmati pantai selatan yang indah, tetapi dihibur adanya objek wisata lain sepanjang perjalanan. Misalnya ketika melewati kebun teh yang ada di kiri, kanan jalan. Selain itu masih ada beberapa objek wisata lain yang cukup menarik. Di antaranya, pemandangan air terjun Neglasai. Wisata air terjun ini letaknya di atas gunung. Orang bisa menikmatinya dari areal kebun teh.

Pantainya juga tidak hanya Pantai Santolo saja. Ada lagi Pantai Cijeruk Indah, Rancabuaya serta sejumlah objek wisata lainnya. Di depan pantai Santolo, terdapat lokasi yang dipergunakan untuk peluncuran satelit penelitian LAPAN.

Cuma sayangnya, semua objek wisata tersebut tidak terurus dengan baik oleh pemerintah setempat. Demikian juga tempat-tempat penginapan. Di Pemeungpeuk nyaris tidak ada satu pun tempat penginapan yang layak. Bila wisatawan ke tempat itu, banyak yang terpaksa menginap di rumah penduduk. Rombongan Kemennegpora misalnya, terpaksa menginap di barak milik TNI AD yang bertugas di LAPAN.

Tampaknya dibutuhkan niat pemda untuk mengelola pantai ini jika hendak menjadikannya objek wisata. Mudah-mudahan ke depan, Pemeungpeuk dengan pantai Santolonya yang indah seperti di Kuta itu, dibangun dan dijadikan objek wisata yang mendatangkan pendapatan bagi daerahnya.